Geomorfologi Regional
pengertian geomorfologi
Geomorfologi merupakan
ilmu yang mempelajari dan mendeskripsikan tentang bentuk lahan dan
proses-proses yang mempengaruhinya di permukaan bumi serta mengetahui hubungan
antara bentuk lahan tersebut dengan proses pembentukan morfologi tersebut (Van
Zuidam, 1983). Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Verstappen
(1983), yaitu ilmu yang memepelajari tentang bentuk permukaan bumi yang
didalamnya mencakup proses pembentukan, genesa dan kaitannya dengan lingkungan.
Geomorfologi suatu daerah dipengaruhi oleh proses endogen maupun proses
eksogen. Menurut Thonbury (1969), proses endogen meliputi proses diastropisme
dan vulkanisme serta proses ekstrateresterial. Sedangkan proses eksogenik
merupakan tenaga asal luar seperti degradasi dan agradasi.
Aspek Geomorfologi
Aspek- aspek penting
dalam geomorfologi adalah morfologi yang meliputi morfometri dan morfografi,
morfogenesa yang meliputi morfostruktur dan morfodinamik, serta morfokronologi
atau juga morfoaransemen.
Morfologi merupakan
kenampakan roman muka bumi yang dtunjukkan dengan pola kontur tertentu pada
suatu daerah. Aspek morfologi ini dibagi menjadi 2, yaitu: Morfometri yang
merupakan aspek kuantitatif yang didasarkan pada beda tinggi suatu daerah
dengan daerah lainnya serta tingkat kemiringna lereng daerah tersebut,
hubungannya dengan proses geologi yang mempengaruhinya baik proses eksogen
maupun proses endogen, serta perbedaan litologi dan tingkat resistensi batuan
penyusun daerah tersebut. Serta morfografi yaitu deskripsi morfologi pada suatu
daerah seperti pegunungan, perbukitan, dataran, dan sebagainya.
Morfogenesis adalah
geomorfologi berdasarkan asal, proses pembentukan, dan yang bekerja membentuk
morfologi suatu daerah, serta hasil perkembangan lahan tersebut. Morfogenesis
dibagi 3, yaitu : Morfostruktur pasif seperti litologi. Litologi merupakan
suatu obyek yang erat hubungannya dengan proses pembentukan geomorfologi.
Perbedaan jenis batuan, struktur, dan resistensi batuan akan membentuk
geomorfologi yang berbeda. Morfostruktur aktif yaitu proses dinamika endogen
pembentuk morfologi seperti vulkanisme maupun tektonik; morfodinamika yaitu
dinamika tenaga endogen seperti pelapukan dan erosi oleh berbagai media seperti
air, angin , dan es.
Morfokronologi yaitu
mengetahui tingkat kedewasaan suatu bentang alam yang saling berhubungan , dan
morfoaransemen yaitu susunan dan
hubungan berbagai bentuk lahan dan proses pembentukannya.
Untuk menjelaskan geomorfologi
lokasi penelitian, berdasarkan hal yang sudah diterangkan diatas penulis
membagi menjadi 2 sub- bab yaitu : geomorfologi regional, dan geomorfologi
daerah penelitian.
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang
meliputi kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan
dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan
(Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 2.1). Zona Solo merupakan bagian dari Zona
Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati
oleh kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut
merupakan dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun
oleh endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan,
dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari
Pantai Parangtritis hingga Kali Progo. Aliran sungai utama di bagian barat
adalah Kali Progo dan Kali Opak, sedangkan di sebelah timur ialah Kali Dengkeng
yang merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan
Jiwo. Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150
dan beda tinggi 125 – 264 m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo
adalah Gunung Jabalkat (± 264 m) di Perbukitan Jiwo bagian barat dan Gunung
Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo bagian timur. Kedua perbukitan tersebut
dipisahkan oleh aliran Kali. Dengkeng. Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan
Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk, 1992).
Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta
di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran Kali Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan
ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan
mempunyai lebar lebih kurang 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu
Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso
dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama
terletak di bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ±
507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah
timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk
tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737
m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng
antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta
hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak
di bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan
sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan
utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung
Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah Kali Oyo yang mengalir ke barat
dan menyatu dengan Kali Opak. Sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah
lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah
batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts,
yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut
dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga,
luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping
serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari
pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment
yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah
selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis
dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau
Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939).
Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone)
juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa
antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
A. Tatanan Tektonik Pegunungan Selatan
Zona Pegunungan Selatan
merupakan cekungan yang
menunjang dengan arah
relatif barat –
timur mulai dari
Parangtritis di bagian
barat sampai Ujung Purwo di
bagian Jawa Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas
dari interaksi konvergen
antara Lempeng Hindia
– Australia dengan Lempeng Micro Sunda.
Mengenai Evolusi Tektonik
Tersier Pulau Jawa
,dijelaskan bahwa Pulau
Jawa merupakan salah
satu pulau di
Busur Sunda yang
mempunyai sejarah geodinamik aktif,
yang jika dirunut
perkembangannya dapat dikelompokkan
menjadi beberapa fase
tektonik dimulai dari
Kapur Akhir hingga sekarang (Gambar 2.2) yaitu :
1. Periode Kapur akhir – Paleosen.
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional
/Regangan) .
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional –
Terbentuknya OAF) .
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur
Inversi ) .
5. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir.
1. Periode Kapur Akhir – Paleosen
Fase tektonik awal
terjadi pada Mesozoikum
ketika pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut
meng-hasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate
sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan
diikuti oleh fase regangan
(rifting phase) selama
Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst
(tinggian) dan graben
(rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir
dapat diikuti menerus
dari Timurlaut Sumatra
–JawaKalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan
depan busur (fore
arc basin) berkembang di
daerah selatan Jawa
Barat dan Serayu
Selatan di Jawa Tengah.
Mendekati Kapur Akhir
– Paleosen, fragmen
benua yang terpisah dari
Gondwana, mendekati zona
subduksi Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous
micro-continents di wilayah
Asia Tenggara telah dilaporkan oleh
banyak penulis (Metcalfe,
1996). Basement bersifat kontinental yang
terletak di sebelah
timur zona subduksi
KarangsambungMeratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di
Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa
granit pada kedalaman
5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1
menembus basement diorit. Docking (merapatnya)
fragmen mikro-kontinen pada
bagian tepi timur
Sundaland menyebabkan
matinya zona subduksi
Karang-sambung-Meratus dan terangkatnya
zona subduksi tersebut
menghasilkan Pegunungan Meratus
(Gambar 2.2).
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional
/Regangan)
Antara 54 jtl
– 45 jtl
(Eosen), di wilayah
Lautan Hindia terjadi
reorganisasi lempeng ditandai
dengan berkurangnya secara
mencolok kecepatan
pergerakan ke utara
India. Aktifitas pemekaran
di sepanjang Wharton Ridge
berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau
45 jtl). Berkurangnya
secara mencolok gerak
India ke utara
dan matinya Wharton Ridge
ini diinterpretasikan sebagai
pertanda kontak pertama Benua
India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik
regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang
ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna,
Sumatra, Sunda, Jawa
Timur, Barito, dan Kutai)
dan endapannya dikenal
sebagai endapan syn-rift.
Pelamparan extension
tectonics ini berasosiasi
dengan pergerakan sepanjang
sesar regional yang telah
ada sebelumnya dalam
fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur
basement mempengaruhi arah
cekungan syn-rift Paleogen di
wilayah tepian tenggara
Sundaland (Sumatra, Jawa,
dan Kalimantan Tenggara) (Gambar 2.2).
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional –
Terbentuknya OAF)
Sebagian besar bagian
atas sedimen Eosen
Akhir memiliki kontak tidak
selaras dengan satuan
batuan di atasnya
yang berumur Oligosen.
Di daerah Karangsambung batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan
yang kontaknya dengan satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidakselaras.
Di daerah Karangsambung
Selatan batas antara
Formasi Karangsambung dan Formasi
Totogan sulit ditentukan
dan diperkirakan berangsur, sedangkan
ke arah utara
Formasi Totogan ada
yang langsung kontak secara tidak
selaras dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah
Nanggulan kontak ketidakselarasan terdapat
diantara Anggota Seputih yang
berumur Eosen Akhir dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen Tengah. Demikian pula
di daerah Bayat, bagian atas Formasi
Wungkal-Gamping yang berumur
Eosen Akhir, tanda-tanda
ketidak selarasan ditunjukkan
oleh terdapatnya fragmen -fragmen batuan Eosen
di sekuen bagian
bawah Formasi Kebobutak
yang berumur Oligosen Akhir.
Ketidakselarasan di Nanggulan
dan Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut
yang diakibatkan oleh
deformasi tektonik yang sama
yang menyebabkan terdeformasinya Formasi
Karangsambung. Akibat
deformasi ini di
daerah Cekungan Jawa
Timur tidak jelas
teramati karena endapan Eosen
Formasi Ngimbang disini
pada umumnya selaras
dengan endapan Oligosen Formasi
Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan
pergerakan ke utara
Benua Australia.
Ketika Wharton Ridge masih aktif Benua Australia
bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat
pemekaran Wharton pada
45 jt, India
dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan
bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih
cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya kecepatan ini
meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng
Samudera Hindia di
Palung Jawa dan
mendorong ke arah
barat, sepanjang sesar mendatar
yang keberadaannya diperkirakan,
Mikrokontinen Jawa Timur sehingga
terjadi efek kompresional
di daerah Karangsambung yang mengakibatkan
terdeformasinya Formasi Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan
Formasi Wungkal Gamping di Bayat.
Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan masih
berlangsung sampai Oligosen
Tengah. Peristiwa ini memicu
aktifitas volkanisme yang
kemungkinan berkaitan erat
dengan munculnya zona gunungapi
utama di bagian
selatan Jawa (OAF=Old Andesite Formation)
yang sekarang dikenal
sebagai Zona Pegunungan Selatan. Aktifitas
volkanisme ini tidak
menjangkau wilayah Jawa
bagian utara dimana pengendapan
karbonat dan silisiklastik
menerus di daerah
ini (Gambar 2.2).
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur
Inversi )
Pada Oligosen Akhir
sampai Miosen Tengah
pergerakan ke utara India
dan Australia berkurang
secara mencolok karena
terjadinya benturan keras (hard collision) antara
India dengan Benua
Asia membentuk Pegunungan Himalaya.
Akibatnya laju penunjaman
Lempeng Samudera Hindia di
palung Sunda juga
berkurang secara drastis.
Hard collision
India menyebabkan efek maksimal
tektonik ekstrusi sehingga
berkembang fase kompresi di
wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar endapan
syn-rift Eosen. Di
Cekungan Jawa Timur
fase kompresi ini menginversi graben
RMKS menjadi zona
Sesar RMKS. Di
selatan Jawa, kegiatan volkanik
Oligosen menjadi tidak aktif dan mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini
ditandai dengan pengen-dapan
karbonat besar-besaran seperti Formasi
Wonosari di Jawa Tengah
dan
Formasi Punung di
Jawa Timur. Sedangkan di
bagian utara dengan aktifnya
inversi berkembang endapan syn-inversi
formasi-formasi Neogen di
Zona Rembang dan
Zona Kendeng. Selama periode
ini, inversi cekungan
terjadi karena konvergensi Lempeng Indian
menghasilkan rezim tektonik
kompresi di daerah
“busur depan” Sumatra dan
Jawa. Sebaliknya, busur
belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-selatan
yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst
dan graben) utara-selatan yang telah ada.
5. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir
Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement dominan berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura.Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup) pada tinggian yang membatasinya.
Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement dominan berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura.Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup) pada tinggian yang membatasinya.
Stratigrafi Regional
Urutan
stratigrafi daerah penelitian disusun secara sistematis dan didasarkan atas
data dan pengamatan di lapangan, serta hasil pengukuran di lapangan, yang
meliputi jenis dan urutan perlapisan, ketebalan, serta penamaan batuannya.
Selain itu untuk penamaan batuannya didasarkan atas deskriptif megaskopis di
lapangan. Namun dalam penyusunan stratigrafi pada daerah penelitian tidak lepas
dari studi stratigrafi regional yang diadikan acuan dalam menentukan stratigrafi
atau susunan batuan di daerah penelitian. Dari studi stratigrafi regional
tersebut penulis dapat melakukan penyusunan satuan batuan yang ada di lokasi
penelitian.
Pada bab ini
akan diuraikan sekilas mengenai stratigrafi daerah penelitian, baik secara
regional maupun secara lokal. Dari penyusunan stratigrafi tersebut akan
diketahui mana batuan yang paling tua dan mana batuan yang paling muda yang
terdapat pada daerah penelitian. Stratigrafi regional meliputi satuan
stratigrafi resmi atau formasi batuan dari daerah penelitian, sedangkan untuk
stratigrafi lokal pada daerah penelitian hanya mencakup pada jenis litologi dan
kenampakannya di lapangan. Setelah mengetahui stratigrafi daerah penelitian
tersebut nantinya akan dibuat kolom stratigrafi dan dipakai untuk legenda pada
penyusunan peta geologi.
Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah banyak
dikemukakan oleh beberapa peneliti yang membedakan stratigrafi wilayah bagian
barat (Parangtritis – Wonosari) dan wilayah bagian timur (Wonosari – Pacitan).
Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan bagian barat telah diteliti antara lain
oleh Bothe (1929), van Bemmelen (1949), Sumarso dan Ismoyowati (1975), Sartono
(1964), Nahrowi, dkk (1978) dan Suyoto (1992) serta Wartono dan Surono dengan
perubahan (1994).
Secara stratigrafi, urutan satuan batuan dari
tua ke muda menurut penamaan litostratifrafi menurut Wartono dan Surono dengan
perubahan (1994) adalah :
1. Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping,
keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan
Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan
batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa
napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo,
antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan
sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil
foraminifera besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK,
Nummulites bagelensis VERBEEK dan Discocyclina javana VERBEEK.
Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah sampai
tengah. Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil
foraminifera kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi
Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir (Sumarso dan
Ismoyowati, 1975).
Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut
dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut,
formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam
sehingga merupakan exotic faunal assemblage (Rahardjo, 1980). Formasi
ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K. Oyo di utara G. Gede, menindih
secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit Pendul dan di
atasnya, secara tidak selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi
(volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi
Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
2. Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang
terletak di lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi
ini di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung,
serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan
batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya
dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi
andesit.
Pada Formasi Kebo-Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menemukan
fosil Globorotalia opima BOLLI, Globorotalia angulisuturalis BOLLI,
Globorotalia kuqleri BOLLI, Globorotalia siakensis LEROY,
Globigerina binaiensis KOCH, Globigerinoides primordius BLOW dan
BANNER, Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil tersebut
menunjukkan umur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya adalah
laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki
utara Pegunungan Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih secara
tidak selaras Formasi Wungkal-Gamping serta tertindih selaras oleh Formasi
Semilir. Ketebalan dari formasi ini lebih dari 650 meter.
3. Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten.
Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi
batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari
andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak,
Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit
basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral
Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di
daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di
bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada
tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih
dari 460 meter.
Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso dan
Ismoyowati (1975) menemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada
bagian bawah formasi dan Orbulina pada bagian atasnya. Sedangkan pada
bagian tengah formasi ditemukan Globigerinoides primordius BLOW dan
BANNER, Globoquadrina altispira CUSHMAN dan JARVIS, Globigerina
praebulloides BLOW dan Globorotalia siakensis LE ROY.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah
Miosen Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak,
namun secara setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini menjemari
dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun tertindih secara tidak
selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk., 1992). Dengan melimpahnya tuf dan
batuapung dalam volume yang sangat besar, maka secara vulkanologi Formasi
Semilir ini dihasilkan oleh letusan gunungapi yang sangat besar dan merusak,
biasanya berasosiasi dengan pembentukan kaldera letusan (Bronto dan hartono,
2001).
4. Formasi Nglanggran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah
selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi,
aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi
dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya
terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah
formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang
membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi
oleh batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil.
Sudarminto (1982, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera
Globigerina praebulloides BLOW, Globigerinoides primordius BLOW
dan BANNER, Globigerinoides sacculifer BRADY, Globoquadrina dehiscens
CHAPMANN, PARR dan COLLINS pada sisipan batulempung yang menunjukkan umur
Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan
fosil foraminifera Globorotalia praemenardiii CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia
archeomenardii BOLLI, Orbulina suturalis BRONNIMANN, Orbulina
universa D’ORBIGNY dan Globigerinoides trilobus REUSS pada sisipan
batupasir yang menunjukkan umur Miosen Tengah bagian bawah. Sehingga
disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen Tengah bagian
bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di
sebelah barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi
ini di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi
Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara tidak selaras ditindih oleh Formasi
Oyo dan Formasi Wonosari. Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan beku luar
berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka diperkirakan
lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat hingga laut dangkal.
Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan
pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.
5. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi
ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona
Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur. Ketebalan
Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir
kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling
dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini
tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir,
mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan
selaras di atas Formasi Nglanggran.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina
verbeeki NEWTON dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina
sumatrensis BRADY, Cycloclypeus comunis MARTIN, Miogypsina
polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang
menunjukkan umur Miosen Tengah (Bothe, 1929). Namun Suyoto dan Santoso (1986,
dalam Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur formasi ini mulai akhir Miosen
Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil bentoniknya menunjukkan adanya
percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan hanya
tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di dalam
Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan
gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).
6. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada
bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara
berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung
karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun
kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit membulat.
Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari
140 meter dan kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi
Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan
Formasi Oyo.
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang dijumpai
antara lain Cycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina rutteni
VLERK, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Miogypsina polymorpha
RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur
Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (Bothe, 1929). Lingkungan pengendapannya pada
laut dangkal (zona neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.
7. Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi
Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan
keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung.
Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk
bentang alam Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu.
Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di
bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari
dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri
dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan
adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang
melimpah, diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp.,
ditentukan umur formasi ini adalah Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan
pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang mendangkal ke arah
selatan (Surono dkk, 1992).
8. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11
kilometer di sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K. Rambatan
sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal
dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.
Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari
10o dan kaya akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang terkandung di
antaranya Globorotalia plesiotumida BLOW dan BANNER, Globorotalia
merotumida, Globoquadrina dehiscens CHAPMAN, PARR dan COLLINS, Amphistegina sp., Textularia sp., Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina sp. Berdasarkan kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas dari Formasi Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam Bronto dan Hartono, 2001).
merotumida, Globoquadrina dehiscens CHAPMAN, PARR dan COLLINS, Amphistegina sp., Textularia sp., Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina sp. Berdasarkan kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas dari Formasi Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam Bronto dan Hartono, 2001).
9. Endapan Permukaan
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih
tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan
lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992)
membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan
Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan
Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi. Endapan aluvium ini
membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di sekeliling Bayat. Satuan
Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan di bawahnya. Tersusun
oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan pasir, dengan ketebalan satuan 10 m. Penyebarannya dari Ngawen, Semin, sampai
Selatan Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini menunjukan ciri endapan danau, pada
Kala Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat secara setempat laterit (warna merah
kecoklatan) merupakan endapan terarosa, yang umumnya menempati uvala pada morfologi
karst.
Dari beberapa formasi batuan di pegunungan selatan yang telah
dipaparkan di atas dapat diketahui bahwa daerah penelitian termasuk dalam
formasi semilir. Secara regional penulis memperkirakan bahwa daerah penelitian
masuk kedalam Formasi Semilir yang berumur Miosen Awal-Miosen Tengah bagian
bawah, alasannya di karenakan pada daerah penelitian dijumpai banyak sekali
batupasir tufan, tuff, dan breksi pumis yang merupakan penciri dari Formasi
Semilir. Hal tersebut terjadi dikarenakan oleh aktivitas tektonik dan
vulkanisme yang berperan dalam pengendapan formasi tersebut. Atas dasar itulah
penulis mengambil kesimpulan tersebut.
0 Response to "Geomorfologi Pegunungan Selatan"
Posting Komentar